Rabu, 23 Februari 2022

Mengenal Penerbit Indie

 PELATIHAN BELAJAR MENULIS PGRI 

Resume

Pertemuan       : 17

Kelas                : Gel. 23

Materi              : Mengnal  Penerbit  Indie

Narasumber    : Mukminin, S. Pd. M. Pd

Moderator       : Helwiyah


Dari tadi sore cuaca di Ranai mendung dengan hujan rintik-rintik membuat aku merasa kedinginan. Batitaku Sulatan namanya selalu menemani diatas pangkuan jika dia melihat aku ingin mengetik dimeja kerja. Jari-jari kecilnya beberapa kali ku tangkap karena ketikan berubah arti karena ditambah karakter lain olehnya. Kejadian seperti ini membuat aku sering gemes ingin mencubitnya. Tidak jarang tanganku ditarik dan ahur mnemaninya bermain didepan ruang TV dengan mainan boneka hewan koleksinya. Jadilah aku pengarang cerita dengan dongeng karanganku sendiri dan membuat dia tertawa. Pikiranku bercabang pada laptop yang aku tinggalkan menyala dari tadi. Malam ini kami kuliah di pelatihan Belajar Menulis PGRI dengan narasumber hebat yaitu Bapak Mukminin, S.Pd.,M.Pd. Beliau  Lahir di Jombang, 6 Juli 1965. Pendidikan jurusan keguruan yang pernah beliau jalani yaitu beliau Lulus D2  IKIP NEGERI Surabaya th.1987. Lulus S 1 IKIP PGRI Tuban 1998. Lulus S 2 UNISDA LAMONGAN 2012. Jurusan Bahasa dan Sarta Indonesia. Materi kuliah malam ini adalah Mengenal Penerbit Indie. Sebagai moderator yang membersamai materi malam ini dalah Bu Helwiyah.



Bapak Mukminin memulai karir menulis beliau di usia beliau lima puluh lima tahun, membaca biodata beliau membuat aku berpikir bahwa aku tidak terlambat untuk memulai berkarya dibidang tulisan. Karya yang beliau pernah tulis banyak sekali antanya ada di gambar berikut. 

Setelah aku ketinggalan jauh dari materi semalam akhirnya pagi ini disekolah aku buka kembali laptopku untuk merangkai katalimat-kalimat menulis resume materi dari Pak Mukminin, di awal pertemuan beliau memberi motivasi kepada semua peserta bahwa menulis itu mudah dan menyenangkan bisa di baca dari pengalaman beliau yang diceritakan dalam buku yang berjudul " Jurus Jitu Menjadi Penulis Andal bersama Pakar"
Buku ini didukung oleh kata pengantar bapak Dr. Ngainun Naim dosen IAIN Tulung agung. Kemudian Cak Inin memberi tantangan kepada peserta untuk membuat alasan kenapa harus menulis. Selamat untuk peserta yang berhasil menyimak dari awal ada  Bu Lilis dengan jawaban yang luar biasa besemangat dan beberapa peserta lainnya.

Untuk mejadi penulis dan menerbitkan buku kita perlu memahami ahapan dan cara menerbitkan buku. Cak Inin menjelaskan Tahapan dan Cara Menulis dan Menerbitkan Buku yang Tepat.

Seperti yang beliau jelaskan  Ada 5 tahapan yg harus dilalui: 

    1.  Prawriting
  • a. Pay attention maksudnya pertama-tama penulis harus mampu mencari ide apa yang akan ditulis. Penulis harus pandai mengamati lingkungan baik dari hasil bacaaa, diskusi maupun pengalam yang dialami.
    b. Berpikir kreatif, penulis harus berani mencoba sesuatu yang berbeda dengan melakukan kreatifitas atau sedikit memodifikasi tulisan dari hasil bacaan agar lebih menarik.
    c. Penulis harus banyak membaca buku.

2. Drafting

    • Penulis mulai membuat Draf ( outline buku/ daftar isi buku) dilanjutkan menulis naskah buku sesuai  draf tadi. 
    • Penulis harus sesuai dengan apa yang disukai ( pasion). Boleh menulis artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya dengan penuh kreatif merangkai kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca. 

3. Revisi

Setelah naskah selesai maka kita lakukan revisi naskah. Merevisi tulisan mana yang baik dicantumkan, naskah mana yang perlu dibuang,   naskah mana yang perlu ditambahkan.

4. Editting/ Swasunting

 Setelah naskah kita revisi maka masuk tahapan editting. Penulis melakukan pengeditan. Hanya memperbaiki berbagai kesalahan tanda baca, kesalahan pada kalimat. Tahap ini boleh dikatakan sebagai "Swasunting" yaitu menyunting tulisan sendiri sebelum masuk penerbit, kan malu kalau banyak kesalahan. Maka penulis dituntut untuk memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai denga EBBI.

5. Publikasi 

Jika tulisan Anda yang berupa naskah buku sudah yakin maka Anda memasuki tahap Publikasi atau penerbitan  buku.

Selanjutnya setelah tahapan menulis, Proofreading dan mengedet selesai maka carilah penerbit buku yang tepat untuk mencetak buku kita. Mari mengenal apa perbedaaan penerbit Mayor dan penerbit Indie. Perbedaaannya dalah sebagai berikut.

Penerbit Mayor

Penerbit Indie

1.    Jumlah Cetakan

Penerbit mayor  mencetak bukunya secara masal. Biasanya cetakan pertama sekitar 3000 eksemplar atau minimal 1000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku.

 

1. Jumlah Cetakan

Penerbit indie : hanya mencetak buku apabila ada yang memesan atau cetak berkala yang dikenal dengan POD ( Print on Demand) yang umumnya didistribusikan melalui media online Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WA grup dll.

2.    Pemilihan Naskah yang Diterbitkan

Naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum menerbitkan sebuah naskah. Tentu saja, menyambung dari poin yang pertama, penerbit mayor mencetak bukunya secara masal 1000 - 3000 eksemplar. Mereka ekstra hati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan dan tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Penerbit mayor memiliki syarat yang semakin ketat, harus mengikuti selera pasar, dan tingginya tingkat penolakan.

2.  Pemilihan Naskah yang Diterbitkan

Tidak menolak naskah. Selama naskah tersebut sebuah karya yang layak diterbitkan; tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, naskah tersebut pasti kami terbitkan. Kami adalah alternatif baru bagi para penulis untuk membukukan tulisannya.

 

 

3.    Profesionalitas

Penerbit mayor tentu saja profesional dengan banyaknya dukungan SDM di perusahaan besar mereka.

3.  Profesionalitas

Kami pun profesional, tapi sering disalah artikan. Banyak sekali anggapan menerbitkan buku di penerbit indie asal-asalan, asal cetak-jadi-jual. Sebagai penulis, harus jeli memilih siapa yang akan jadi penerbit Bapak Ibu dan Saudara-saudara. Jangan tergoda dengan paket penerbitan murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah Cover kurang bagus, kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper ( kertas coklat halus). Kami jaga mutu Cover bagus cerah mengkilat isi buku kertas cokal halus awet ( bookpapar). 

4.    Waktu Penerbitan

Pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya akan dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang harus mereka lalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.

4.  Waktu Penerbitan

Tentu berbeda kami akan segera memproses naskah yang kami terima dengan cepat. Dalam hitungan minggu bukumu sudah bisa terbit. Karena memang, kami tidak fokus pada selera pasar yang banyak menuntut ini dan itu. Kami menerbitkan karya yang penulisnya yakin karya tersebut adalah karya terbaiknya dan layak diterbitkan sehingga kami tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

 

 

5.    Royalti

Kebanyakan penerbit mayor mematok royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku.

 

5.  Royalti

Umumnya 15-20%  dari harga buku. Dipasarkan dan dijual penulis lewat fb, Instagram, wa grup, Twitter, status, dll

    

6.    Biaya penerbitan

Biaya penerbitan gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Seperti yang sudah disebut di atas, penerbit mayor memiliki pertimbangan dan tuntutan yang banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya ada di pihak penerbit.

6. Biaya penerbitan

Berbayar sesuai dengan aturan masing-masing penerbit. Antara penerbit satu dengan yang  lain berbeda. Karena pelayanan dan mutu buku yg diterbitkan tidak sama.

Pada pertemuaan ini Cak Inin merekomendasikan penerbit indie yaitu Penerbitan KAMILA PRESS LAMONGAN 

Melayani cetak buku, dengan jasa ISBN,  editing,  Lay out, dan  design cover buku  dengan harga terjangkau. 

# Syarat-syarat penerbitan di KAMILA PRESS LAMONGAN:

1. Kirimkan naskah lengkap mulai judul, kata pengantar, daftar isi, naskahdaftar isi, daftar pustaka, biodata penulis dengan fotonya dan Sinopsis 

2. Ketik  A5 ukurannya 14,8 x 21 cm, spasi 1,15 ukuran fon 11 dan margin kanan 2 cm, kiri 2 cm, atas 2 cm dan bawah 2 cm. Gunakan huruf. 

Arial, calibri atau  Cambria dan masukkan dalam 1 file kirim ke WA saya atau email gusmukminin@gmail.com.

 

Berikut adalah cetak buku  TERBARU ( TERJANGKAU) di KAMILA PRESS LAMONGAN,  hub. hp/wa Mukminin, 081330944498, 

✓ Biaya Cetak buku  A5, kertas "Bookpapar (coklat halus)", 
termasuk biaya ISBN, Layuot, edit, cover buku: 

A. 60 halaman: 
  • Cetak 5 buku/ eksp. =  566.000
  •  Cetak 10 buku/ eksp. =  632.000, plus ongkir
B. 70 hlm:  
  • Cetak 5 buku = 570.000
  • Cetak 10 buku = 650.000, Plus Ongkir
C. 85 hlm :
  • Cetak 5 buku = 580.000
  • Cetak 10 buku = 660.000
D. 90 hlm:
  • Cetak 5 buku = 600.000
  • Cetak 10 Buku = 715.000
E. 100 hlm: 
  • Cetak 5 buku = 635.000
  • Cetak 10.Buku = 725.000
F. 125 hlm:
  • Cetak 5 buku = 650.000
  • Cetak 10 buku = 751.000
G. 150 hlm:
  • Cetak 5 buku = 665.000
  • Cetak 10 buku = 800.000
H. 200 hlm: 
  • 5 buku = 695.000
  •  10 buku = 841.000
I. 250 hlm:
  • Cetak 5 buku = 725.000
  • Cetak 10 buku = 900.000
J. 300 hlm:
  • Cetak 5 buku = 753.000
  • Cetak 10 buku = 957.000
SETELAH CETAK 10 BUKU DENGAN JUMLAH HALAMAN DAN HARGA TERSEBUT, 
Lebihnya dihitung harga cetak ulang :

1.  Cetak buku 60 hlm Harga @ 20.000
2. Cetak buku 70-75  hlm harga  @21.000
3. Cetak buku 100 hlm. Harga @ 23.500
4. Cetak buku 140 hlm harga @ 27.000
5. Cetak buku 150 hlm @ 30.000
6. Cetak buku   250 hlm. Harga @ 40.000
7. Cetak buku  300 hlm. Harga @  45.000

Berikut ini fasilitasnya dari penerbit Kamila Press Lamongan: 
Dibuatkan cover buku, layout, Edit, sertifikat Penulis buku, PO buku. Dapat buku ISBN sesuai pesanan. Cetak 10 dapat 10 buku yg 2 buku ke PERPUSNAS tanggung jawab Kamila Press.

Terima kasih, materi yang telah disampaikan sangat luar biasa dan bermanfaat. Semoga Bapak narasumber Mukminin, S. Pd. M. Pd. dan moderator Bu Helwiyah sehat selalu  dan salam literasi.














 



 



Kabut mencinta

 CERPEN,  Kabut Mencinta

"Silakan diminum Mas!" Sambil ku sodorkan secangkir teh di atas meja tamu depan teras indekostku. Sambil tersenyum mas Rino mengambilnya dan menyicipi teh buatanku. " Tehnya manis seperti yang membuatnya...", gombalan mas Rino membuat aku tersipu. "Mau ajak Nia kemana mas?" tanyaku. Nia adalah teman sekampungku, semenjak awal perkuliahan dua tahun yang lalu kami berangkat dari kampung bersama-sama untuk melanjutkan pendidikan di kota melayu  P yang sering dikenal dulu dengan nama Senapelan.   

Aku memilih jurusan bahasa Inggris, sedangkan Nia memilih jurusan manajemen pendidikan. Nia anak yang periang wajahnya yang imut dengan mata bulat, hidung mancung dan gaya manjanya dalam bergaul membuat banyak lelaki yang tertarik padanya. Nia bagiku sudah aku anggap seperti saudara kandung meskipun banyak perbedaan keperibadian antara aku dan dia.

Karena aku orang yang mandiri dan berpikir dewasa makanya Nia akan menceritakan kedekannya kepada lelaki yang suka padanya. Nia bagaikan adik kandungku yang selalu bermanja-manja padaku dan mencerikatan kisah cintanya dan selalu minta perlindungan jika dia mengalami masalah dengan lelaki yang mendekatinya.

Tidak berselang lama wajah imut nan manja sudah mucul di depan pintu. " Bagaimana, serasi tak baju ini kak?" Dasar gadis manja, tidak malu dia bertanya pada ku di depan lelaki yang dari tadi menunggunya. Ku lihat wajah mas Rino yang terpana dengan kecantikan Nia, berbalut jilbab donker blus pink yang panjang selutut dengan celana jean ngepres ku lihat Nia begitu menawan dan tambah cantik. " Tentu donk, Nia gitu lho..." aku menyukai gayanya. " Jangan pulang kemalaman ya...Mas!" pesanku pada mas Rino. Mereka sudah beranjak ke mobil " awas, ya jika pulang malam kakak lapor RT, ha...ha..." aku tertawa sambil melambaikan tangan kepada mereka.

Mas Rino adalah lelaki yang bekerja di sebuah perusahan swasta, yang kebetulan tidak sengaja berkenalan dengan Nia, waktu dia kejatuhan dompet saat belanja di supermarket delapan bulan yang lalu dan Rino menemukannya kemudian mengembalikan dompet itu ke kost-kostan kami. Semenjak itu mas Rino sering menghubungi Nia via WA..

Seperti biasa Nia memang anak yang baik dan ingat kawan, kalau pulang dari jalan bareng cowok pulangnya tidak pernah terlalu larut dan pasti ada yang dibawa sebagai oleh-oleh dari jalan-jalan. "Mas Rino, titip salam kak...dia langsung pulang" kata Nia sambil meninggalkan aku di ruang TV dengan sebungkus sate yang diletakkan di tanganku. Kemudian dia masuk kamar untuk ganti pakaian dan persiapan tidur. Aku menjawab salam dan bilang terima kasih, sambil lewat untuk  mengambil piring di dapur aku membuka gorden kamar.  Aku lihat Nia sudah tidur, sementara mataku masih tertarik untuk melanjutkan menonton cerita horor di TV.

Beberapa hari ini bulan Maret 2014 cukup berkabut, membuat aku malas beraktivitas di luar rumah kecuali harus belanja dan ke kampus. Tidak terasa perkuliahan kami di kota P sudah memasuki semester ke empat dan aku pun sudah memasuki usia dua puluh tahun. Sering aku berpikir apakah aku bisa menyelesaikan perkulihan ini saat keuanganku mengalami krisis. Ibuku hanya mengirimi aku uang bualanan tujuh ratus ribu rupiah setiap bulan. Hal ini lah menjadi alasanku untuk selalu megerjakan semua tugas kelompok setiap mata kuliah, aku sebagai sekretaris dan meminta teman-teman untuk mengumpulkan uang biaya makalah dan pengetikan, untuk jilid makalah dan poto copy. Harapanku jika semuanya aku yang mengerjakannya maka aku tidak mengeluarkan uang lagi untuk biaya makalah, teman-teman di kelasku sepertinya cukup paham dengan kondisiku oleh karena itu mereka sangat senang jika aku membagikan potocopy makalah sebelum prenstasi kelompok. 

Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan aku berpikir bagaimana harus mencukupi keperluanku selama sebulan. Kemudian aku mengajak Nia untuk patungan belanja makan bulanan dan aku menjadi juru masaknya. Kami berdua mengumpulkan uang belanja setiap awal bulan sebanyak seratus ribu, dengan uang tersebut aku belikan beras, gula, teh, bumbu dapur, telor dan bahan lauk yang bisa bertahan lama untuk dimasak. Nia merasa sangat terbantu dengan cara aku mengatur keperluan dapur sehingga dia bisa membagikan uangnya untuk belanja keperluan lainnya. 

Nia bagiku adalah adek kecil yang harus aku bimbing dalam mendewasakan cara berpikir dan mengambil keputusan. Baru kemarin dia jalan sama mas Rino hari ini pulang dari kuliah kok sudah diantar cowok lain. " Jangan tanya itu siapa, ya kak!" Nia sambil duduk di kursi depan teras indekost membuka sepatunya sepulang dari kuliah. Aku hanya senyum saja, tetapi dalam hati aku berdo'a "ya Allah lindungilah adik ku ini. Jangan jadikan kecantikannya sebagai ujian bagi dirinya sendiri." Nia berlalu di depan ku yang masih dalam kebingungan sambil memegang sapu karena baru selesai menyapu rumah karena hari jum'at aku tidak punya jadwal kuliah jadi aku sibukkan dengan berkemas-kemas rumah kost yang comel dengan hanya satu kamar tidur, ruang tamu, ruang dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Aku sangat senang dengan kost ini bersih, jika aku bekeluarga nanti akan aku buat rumah seperti ini. he...he...pikiranku jadi ngelantur.

"Sedap lauk hari ni kak, nyam...nyam" Nia dengan sepiring nasi ditangan dan duduk di ruang tamu sambil nonton TV. " Sedaplah masakan siapa dulu..." he...he...aku membangakan diri, "Tadi kakak beli ayam sedikit pas tukang sayur lewat cukuplah untuk kita berdua sampai makan sore nanti" aku menjelaskan dari mana ayam itu aku beli. "Nia...Ganteng juga cowok tadi, jumpa dimana?" aku melepaskan pertanyaan penasaranku. " Oh, itu...biasalah kak, orang cantik tu...jentik jari banyak yang nak tumpangkan balik". Sambil senyum semeringah nasi di dalam mulutnya pun hampir keluar, dia membanggakan kecantikannya. Kemudian dia menjelaskan bahwa yang mengantarkannya sampai depan rumah tadi teman satu jurusan tetapi beda kelas anak orang kaya ayahnya kerja di CALTEK Rumbai. "Dia sudah lama sering mau ngantar aku balik kak, cuma hari ini saja aku ladeni karena tadi tidak ada angkutan kak" itu rupanya alasan Nia diantar cowok tadi. "Oh, begono...tidak lebih?" sambil menyodorkan dia segelas air putih aku menyelidiki raut wajahnya apakah ada rasa lain dengan cowok tadi. " Tidak lah kak, teman saja" Nia menegaskan. "Harusnya begitu, kamukan tidak lama lagi dua puluh tahun, harus lebih dewasa ya!" kami memang terpaut lima bulan aku lebih tua dari Nia, karena itu dia memanggilku kakak dan aku pun menyukai panggilan itu.

Di semester empat ini aku punya dua hari tidak ada jadwal kuliah yaitu hari jum'at dan minggu. Aku jadi berpikir untuk mencari uang tambahan. Beberapa bulan yang lalu aku pernah diskusi dengan teman kuliahku Enti. Enti sudah mengajar privat bahasa Inggiris untuk dua orang anak SD kelas lima dua kali pertemuan dalam seminggu dibayar seratus lima puluh ribu. Aku jadi kepingan mencari pengalaman dan mencari uang tambahan. Jika dimudahkan aku mau ngajar anak-anak tetangga disekitar lingkungan yang tidak jauh dari indekostku. " Assalamu'alaikum..." Tiba-tiba pak RT sudah ada di depan rumah mengganggu lamunanku hayalanku tentang uang tambahan. " Wa'alaikumsalam, oh...Pak RT. ada apa Pak?" Pak RT dengan wibawa menyampaikan bahwa nanti malam ada kegiatan di surau yang tidak jauh dari rumah kami. Kami diminta untuk meramaikan kegiatan peringatan tahun baru Islam yang dilaksakan oleh ibu-ibu Majlis Taklim Surau Al- Hidayah. Tentunya aku sangat berterima kasih dengan undangan bapak RT. Kami juga sering berjama'ah di Surau itu jika tidak sibuk dengan perkuliahan. 

Aku menyampaikan dan mengajak Nia untuk ke Surau malam ini. Namun Nia sedang berhalangan biasa tamu bulanan. Nia meminta izin kepadaku untuk keluar bersama Mas Rino malam ini. Aku bilang sama Nia bukan kah cuaca lagi tidak baik dan sekarang musim kabut. Namun Nia banyak alasan pakai mobil lah dan bela...bela...aku hanya berpesan hati-hati jangan lupa telepon kakak kalau ada apa-apa. "Kakak ke surau dulu Nia! mungkin pulang setelah acara selesai, kamu bawa kunci satu kakak satu ya" ku pegang kepalanya dengan cinta. Aku dan Nia memang berasal dari kabupaten yang sama namun kami baru saling mengenal dua tahun yang lalu di pelabuhan saat sama-sama merantau ke kota P, aku dari kecamatan yang berbeda dengan Nia.

Melihat ibu-ibu pengajian sibuk mengemas konsumsi untuk para jama'ah, aku pun membantu membagikannya ke jama'ah yang sudah duduk rapi setelah mendengar ceramah dan penampilan dari anak-anak santri TPQ Al- Hidayah. Seperti kegiatan dulu-dulu kami mencuci bekas konsumsi baru pulang. " Ma, mana Nia?" tanya Bu Ida sambil menemani aku mencuci piring bekas konsumsi tadi.  Bu Ida adalah ibu yang punya indekost tempat aku tinggal. Dia memanggil namaku dengan panggilan Ema dari nama lengkapku Ema Suryani " Nia lagi berhalangan Bu, biasa tamu bulanan" sambil senyum-senyum aku menjawab Bu Ida. "Oh ya, Bu...Ada nggak anak SD di sekitar sini yang mau privat bahasa Inggris?" Aku mencari kesempatan dalam kebersamaan dengan ibu-ibu sambil bersih-bersih surau menjelang pulang. "Kalau privat bahasa Inggris ibu nggak tau Ma, tetapi yang mau belajar menulis dan membaca ada Ma" jawab buk ida. Aku pun langsung menanyakan lebih lanjut, siapa dan dimana rumahnya karena aku rasa aku juga mampu untuk mengajar itu.

Setelah diberi petunjuk oleh Bu Ida di Surau kemarin, kebetulan hari ini Minggu aku tidak ada jadwal ke kampus. Aku coba memberanikan diri untuk kerumah Pak Edo ternyata hanya berjarak tujuh rumah sebelah kiri dari indekostku. MasyaAlloh, ada Herder tak ya? rumah Pak Edo pagarnya megah tadi aku sudah ngajak Nia menemaniku tetapi Nia tidak mau karena dia mau menyelesaikan cuciannya. Ku pencet bell di dinding pagar kedengaran berbunyi "Assalamu'alaikum" Oh, berarti keluarga ini Islam, ku pegang dadaku sedikit lega paling tidak satu keyakinan denganku. Tidak berselang lama, pintu pagar terbuka muncul sosok ibu paruh baya "Eh, Ema...masuk Ma....!" suruh Bu Ijah sambil membuka pintu pagar, mengiringiku masuk dan menutup pagar lagi. Aku dan Bu Ijah sudah beberapa kali bertemu di pasar pagi Selasa dan kadang aku membantunya membawakan belanjaanya sampai di ojek langganannya. Rupanya Bu Ijah kerja di rumah Pak Edo.

Menunggu sekitar dua puluh menit di taman depan sambil membantu Bu Ijah menyiram dan membersihkan daun-daun bunga yang gugur. "Siapa Bu Ijah?" Tanya Pak Edo. Aku memandang ke arah suara. Wow...ternyata dia Pak Edo. Wajahku jadi memerah jantungku berdesir rasanya jadi gerogi, rupanya lelaki yang kadang-kadang memberi senyum sambil lewat depan kostku itu saat sore menjelang magrib adalah Pak Edo. Aku kira yang nama pak Edo itu lelaki berusia lima puluh tahun kebapakan malah agak kakek gitu. " Ini pak, dek Ema mau ketemu Bapak" Buk Ijah menjelaskan, sambil mempersilakan aku mendekati Pak Edo. Aku memberanikan diri dengan menunjukkan wibawa sebagai calon bu guru, " Begini Pak, kenalkan saya Ema" sambil menampung kedua telapak tangan kedepan dadaku isyarat aku menyampaikan salam hormat kepada seorang lelaki. Pak Edo mempersilkan aku duduk di kursi teras depan rumahnya yang seperti istana. Aku menjelaskan alasan aku menemuinya, dan ingin membantu untuk mengajar anaknya membaca dan menulis. Pak Edo yang tampan dengan sopan menjelaskan anaknya yang bernama Luna sudah berusia delapan tahun, namun belum bisa menulis dan membaca. Luna adalah anak pertama Pak Edo yang terlahir prematur diusia tujuh bulan kandungan ibunya, namun aku tidak melihat isteri beliau.   

"Luna, sini nak...! seru Pak Edo memanggil Luna yang sedari tadi berdiri malu di belakang pintu. Dengan malu-malu gadis kecil berambut lurus, mata bulat kulit putih, hidung mancung seperti keturunan Arab. Terbayang oleh ku wajah ibunya pasti secantik anaknya. Ku ulur tanganku kepada Luna dan dia menerima salamku dengan manja dan duduk disamping ku, aku mersa senang karena sudah disambut baik oleh anak ini.  "Luna, Kakak Ema akan ajak Luna bermain dirumahnya tidak jauh dari rumah kita, itu rumah warna hijau sebelum perempatan jalan ini." kata pak Edo pada Luna. Aku pun melanjutkan "Luna, nanti main ke rumah kakak hari jum'at dan Minggu ya..." tidak terduga oleh ku Luna berkata "Hore...Hari ini kan Minggu, ayoo kita kerumah kakak!" Dia memegang tangan kananku, senang bercampur bingung aku senyum dan mengangguk. Pak Edo juga nampak bingung " Sekarang, belum sayang...Kakak mungkin ada jadwal mau jalan sama pacarnya, hari ini" MasyaAllah, canda Pak Edo membuat aku tersadar cantik-cantik kok nggak punya pacar. He...he...bukan tidak punya tetapi menundanya. Mukaku jadi memerah, hidungku yang agak mancung dengan polesan liplos pink agak terasa memanas. "Bapak ada-ada saja, boleh dek...tetapi izin Bapak dulu". Sebelum aku pamit membawa Luna ke rumahku, aku menjelaskan bahwa aku belum memberikan pelajaran kepada Luna hari itu dan harus membeli beberapa buku dulu untuk panduan belajar menulis dan membaca. Pak Edo memberikan aku uang dua seratus ribu untuk membeli buku paket dan alat tulis untuk Luna belajar.   

Sekarang aku mengerti mengapa Luna belum bisa membaca dan menulis diusianya yang sudah delapan tahun. Dia sering sekali lupa dengan huruf-huruf yang ku ajarkan terutama antara b dan d begitu juga huruf p dan q aku coba mengajarinya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Beberapa bulan berlalu kini Luna sudah bisa membaca untuk kalimat dengan dua sampai tiga suku kata. Aku juga pernah berdiskusi kepada Pak Edo tentang perkembangan Luna dan meminta beliau meluangkan waktu untuk ke psikolog tentang tumbuh kembang Luna. Malah Pak edo mempercayakan aku menemani Luna ke Psikolog. Menurut keterangan psikolog Luna mengalami disleksia yaitu kesulitan dalam proses belajar namun tidak mempengaruhi kecerdasannya. Disleksia yang dialami Luna adalah akibat dari terlahir prematur. Kemudian aku jelaskan kepada Pak edo hasil konsultasi dengan psikolog tadi.

Luna semakin dekat dengan ku dan tidak jarang dia menceritakan kesepian dan kerinduannya dengan ibunya. Wajar saja jika dia sering berbaring dipangkuanku saat kami sama-sama nonton TV diruang tamu kostku dan ku belai rambut lurusnya yang lembut dan wangi. Kadang aku memasakkan nasi goreng favoritnya. Ibu Luna sudah lama tidak pulang ke kota P semenjak ada masalah di awal Luna masuk sekolah dasar. Sekarang Luna tidak sekolah lagi di sekolah formal rencananya setelah Luna bisa membaca nanti baru Luna akan di masukkan lagi di SD. Tidak jarang Luna cemburu jika pas kebetulan teman lelaki kuliahku datang untuk mengambil potocopy makalah dan kebetulan dia masih belajar bersamaku dirumah. Itu nampak dari wajahnya yang kurang senang dan kemudian menanyakan "itu pacar kakak, ya?" dan aku sangat suka mengujinya " Iya,..Kenapa?" Dia diam dan mulai malas belajar, namun jika aku jelaskan bahwa yang datang itu hanya teman kuliah yang mengambil tugas maka dia kembali tersenyum dan bersemangat untuk belajar.

" Ema...tunggu!, boleh saya bicara sebentar" Suara Pak Edo membuat aku kaget dan terhenti untuk memakai sepatu ketsku yang sebelah kiri. "Iya...Pak..." jawabku. Pak Edo sudah berdiri didak jauh pas di hadapanku membuat aku berdebar dan salting sambil memeggang tali lanselku, ini kebiasanku kalau aku sedang gerogi. Wajah Pak Edo hidung macung dengan sedikit jenggot tipis mirip orang luar negeri ini sering membuat aku berbunga-bunga. " Silakan masuk dek...!" suruh pak Edo. Ini kali pertama dia mengajak aku masuk diruang tamu rumahnya yang bagai istana berlantai dua. Jadi kepikiran dengan kata "dek" biasamya dia memanggil ku dengan kata "kakak" di hadapan Luna. Setelah duduk dikursi sopanya yang mewah. Sekali-sekali aku memandang wajahnya dan memalingkan pandangan ketempat lain kalau Pak Edo pas memandangku karena aku takut jatuh cinta kata orang dari mana datangnya cinta? dari mata turun ke hati. He...he...pikiran nakal ku menggoda. " Saya banyak mendengar cerita Luna tentang kamu, dan dia sangat mengagumimu." Woow...Ya tuhan kalimat apa ini, aku ingin terbang ada banyak bunga-bunga cinta disini. Apakah benar kata Nia bahwa Luna sepertinya menganggap aku ibunya. Hus...Hus...sadar gadis bodoh kamu itu siapa? batinku protes. " Biasa saja Pak...karena Luna tidak punya teman berbagi jadi kebetulan saya ada bersamanya" Aku menenangkan gejolak batinku.

Pak Edo memandangku dengan serius. "Umur Ema sekarang berapa? maaf apakah sudah punya pacar?" Pak Edo mulai bergeser dari duduknya tadi dia duduk dikursi yang jaraknya dua meter dari ku sekarang mendekat malah jadi semeter. "Maaf Bapak, Saya memang sengaja ingin pokus pada perkulihan saya karena ingin cepat selesai Pak, umur saya sekarang beranjak dua puluh satu tahun" Pikiran konyolku mulai berkata "emangnya kenapa nanya umur aku, apa bapak mau melamar aku ya..."Gila perasaan apa ini. " Oh, baru mau dua puluh satu tahun, bagus semoga cepat selesai kuliahnya ya..." kemudian Pak Edo melanjutkan " Panggil saja saya Bang Edo, karena saya juga belum terlalu tua untuk dipanggil abang" ternyata umur Pak Edo, eh bang Edo baru tiga puluh tiga tahun beliau menikah dengan mama Luna diusia dua puluh empat tahun. Sambil melihat poto keluarga saat Luna masih kecil" Ibu cantik ya...Pak, mirip Luna" aku menghilangkan gerogi, tetap ujung jilbab ku jadi sasaran. "bisa nggak panggil saya Abang!" pinta bang Edo. Membuat aku tambah gerogi.

"Luna sayang...Sini,!" Panggil bapaknya. Ternyata Luna mengintip pembicaraan kami dari balik lemari samping ruang tamu. Dengan manja Luna menghampiri ku dengan tangannya yang suka bergelantungan di lenganku. Aku pun menyenangi sikap Luna yang manja seperti ini jiwa keibuanku selalu tumbuh ketika bersama Luna rasanya sangat rindu jika beberapa hari tidak bertemu dia. Kadang meskipun bukan hari Jum'at dan Minggu Luna juga kerumahku hanya untuk bercerita disisa waktuku sepulang dari kuliah setelah sholat asar dan Bapaknya akan membunyikan kelakson untuk menjemputnya pas pulang dari kerja. Nia sering mengingatkan kepadaku, "hati-hati kak, itu suami dan anak orang " aku ingat kalimat itu. "Menurut kakak, cantik mana...ibu atau kak ema?" Tanya Pak Edo pada Luna. Ya...ampun pertanyaan ini membuat aku terpojok dan rasanya ingin kabur. Namun batin nakalku berharap Luna menjawab aku lebih cantik dari ibunya. " Cantik kak Ema Pa...lebih muda dan sholeha" sepontan saja aku terucap "What...!What do you say my pretty girl? Don't mantion it" Padahal rasanya ingin terbang. Namun cepat-cepat aku memeluk Luna dan menghadapkan wajahnya padaku. Aku menjelaskan kepada Luna tidak boleh membandingkan ibunya menjadi kurang dibandingkan perempuan lain karena dia adalah seorang ibu. Namun Luna sambil beralih kebelakangku dan memlukku, dia menjawab " Bagi Luna saat ini kakak adalah ibu Luna, kak yang bersedia meluangkan waktu untuk Luna, mengajarkan luna membaca dan baca Qura'an juga Sholat" dia memeluk erat bahuku dari belakang sambil meletakkan dagunya di bahu kananku stuasi ini belum pernah terbayang oleh ku dan aku tidak sadar ada yang mengalir dalam dadaku perih dan membalas pelukannya dengan belaian cinta di kepalanya sambil mata berkaca naluri wanitaku mengalir begitu saja rasanya ingin menangis. Aku tidak tahu apa yang dirasakan bang Edo yang jelas aku melihat matanya berkaca-kaca dan seakan tangannya ingin memegang tanganku namun aku isyaratkan jangan lakukan itu.

Setelah sholat magrib seperti biasa aku membaca Al-qur'an kejadian tadi sore masih melayang dalam ingatanku. "Ayo yang lagi jatuh cinta, baca ayat-ayat cinta ya?" Nia sambil melepaskan mukenanya dan merapikanya di hanger meledekku. "Sudah Nia bilang kak, cinta itu tidak memandang usia dan siapa untuk dihinggapinya" Nia seakan tahu apa yang terjadi pada ku." Apa Nia...ayat-ayat cinta"Aku pura-pura tidak paham. Nia mencibir aku karena dia tahu aku hanya pura-pura. "ayoo makan dek!" sambil memegang sepiring nasi ditanganku dengan lauk apa adanya hanya telor sambal goreng. "Kak, sebenarnya isteri Pak Edo itu kemana sih kak?" dasar Nia mau tau aja. Dia memang paham aku tidak bisa berbohong padanya. Sambil mengahabiskan makananku, aku menjelaskan bahwa isteri Pak Edo meninggalkan beliau kurang lebih dua tahun yang lalu semenjak tahu Luna mengalami Dileksia karena tidak ingin malu sering dihina teman sekolah Luna. "Tetapi aku rasa bukan hanya itu alasan yang membuat isteri beliau meninggalkan beliau" benar Nia batinku menjawab. " kalau yang lainnya kakak tidak tahu Nia" jawabku berbohong. Menurut cerita Bu Ijah mama Luna yang di panggil Bu Icha CLBK ( Cinta Lama Bersemi Kembali) dengan teman semasa kuliahnya dulu. Pernikahan Pak Edo dan Bu Icha adalah hasil perjodohan kedua orang tua mereka yang bertahan selama kurang lebih sembilan tahun. Setelah menikah pak Edo yang sebelumnya bekerja di kota J pindah tugas ke kota P ini. Namun sampai saat ini Pak Edo belum memutuskan untuk bercerai dengan mama Luna dan berharap mama Luna masih kembali karena ada Luna yang menunggu kedatangnnya.

"kring...kring...bunyi suara HP nokiaku bergetar" aku lihat jam sepuluh malam dan getaran indah mengalir dalam jiwaku saat ku lihat yang menelponku adalah bang Edo. Ku sambut dengan salam penuh wibawa " Ada apa bang, apakabar Luna?" tanyaku karena sampai saat ini aku belum bisa memejamkan mata teringat pelukan penuh harap yang dilakukan Luna padaku tadi sore. " Luna sudah tidur, tetapi abang belum bisa tidur melihat tangis Luna tadi rasanya hampa dada ini" bang Edo menjelaskan betapa sulitnya menjelaskan kondisi saat ini. Bang Edo menjelaskan dan bermohon atas kejadian tadi tolong berpura-puralah untuk menjadi ibu Luna. Bang Edo memohon sepenuh hati, dan aku mejelaskan ini, Aku anak kuliah dan belajar di Universitas Islam yang baru semester empat dan akan lanjut semester lima, apakah akan menjalani hubungan terlarang dengan suami orang. Aku takut disebut perusak rumah tangga orang dan dipandang hina oleh agama.

Pembicaraan kami menemukan titik kesepakatan, aku minta bang Edo tetap menghubungi isterinya agar kembali ke rumah karena Luna sangat memerlukan kasih sayang seorang ibu. Untuk sementara ini baiklah aku akan mengurus dan menyayangi Luna seperti anakku dan meminta Bang Edo jangan baper agar tugasku diperkulihan cepat selesai dan aku bekerja secara profesional anggap saja aku babysitternya Luna dan tidak boleh menyentuhku karena bukan muhrim. Kemudian maslah salary karena Luna akan sering keluar bersamaku untuk ku ajak jalan-jalan pada waktu libur maka salary dari seratus lima puluh ribu menjadi tiga ratus lima puluh ribu dengan uang jajan Luna. Bang Edo setuju. Alhamdulillah akhirnya terbantu uang kuliahku..

"Assalamu'alikum, kakak..." suara Luna mengganggu lamunanku dikursi depan teras rumah. Seperti biasa setelah melihat Nia dijemput Mas Rino aku duduk dulu diteras depan." Wa'alaikumsalam, sayang, kok tumben malam-malam datang kerumah?" ku persilakan bu ijah duduk. Luna datang bersama Bu ijah dan membawa bingkisan untukku " ini untuk kakak dari papa" mulai lagi bang Edo memberikanku bingkisan, jika bang Edo yang memberikan langsung pada ku sering aku tolak karena untuk menjaga batasan yang sudah disepakati." Terima kasih ya...Dek Luna cantik" sambil ku belai rambutnya karena dia selalu menempelkan wajah cantiknya didadaku. "Enggak keluar rumah ya dek, ini kan malam minggu?" tanya bu ijah pada ku " Bukannya sekarang kita lagi diluar rumah Bu..." ku jawab dengan pura-pura bego dan bu ijah tinggal senyum-senyum saja. "Mau jalan sama siapa bu?" ku seakan-akan ingin mendengar pernyataan seorang ibu. " Masa iya dek Ema nggak punya pacar, adek cantik tinggi langsing, hidung macung dan putih" pernyataan Bu Ijah membuat aku semakin sadar dengan kecantikanku. He...he...mulai ni jiwa sombongku hidup. "Eghe...Bu Ijah bisa saja, mungkin cantik tetapi tidak menarik Bu" jawabku menenangkan jiwa sombongku yang mulai bangkit. " Tidak boleh....kakak tidak boleh jalan dengan cowok lain" Eh...tiba-tiba si wajah comel nyeletuk. Sambil ku peluk Luna dan beranjak dari dudukku. Ku ajak mereka masuk keruang tamu dan seperti biasa Luna langsung berbaring dikursi tamu yang menghadap langsung ke TV ternyata berselang lima belas menit Luna tertidur.

"Bagaimana ini?", kata Bu Ijah nampak bingung dan aku memintanya untuk duduk dan menemani Luna dan aku akan menelpon papa Luna. "Assalamu'alaikum. Bang...Bisa jemput Luna, dia sudah tertidur?" sekarang aku sudah memanggil Pak Edo dengan sebutan Abang. " Wa'alaikumsalam, Tentu sayang.. akan ku jemput anak kita" jangan kau buat aku berharap Bang Edo karena masih jauh dari hayalanku tentang itu batinku menggeram. " Dasar...Lelaki" lalu ku tutup telpon dan tidak lama berselang mobil bang Edo sudah parkir didepan rumahku, bersyukur arah depan mobil menghadap kearah rumahnya artinya seakan-akan dia sudah bepergian ke tempat lain dan akan pulang kerumah. Bersyukur sampai saat ini aku dan bang Edo hanya berkomikasi langsung saat Luna akan pulang dari rumahku dan ketika kadang-kadang aku antar Luna pulang kerumahnya itu pun hanya beberapa menit saja. Harapanku menjelang mama Luna pulang kembali ke pelukan keluarganya bang Edo tidak melamarku. Eh...salah, ngaur tu...rupanya ngarep kan jadi malu. Perasaan yang harus terjaga harus profesional sebagai babysitter.

Tidak tega aku membangunkan Luna, tetapi aku juga tidak mau bang Edo masuk rumahku karena khawatir kata tetangga. Akhirnya dari pada Bu Ijah yang gendong Luna kan kasihan, jadi aku kumpulkan tenaga ku angkat luna dengan kedua tanganku karena ku rasa mampu untuk mengangkat Luna yang beratnya kurang lebih tiga puluh lima kilo dengan kedua tanganku yang saat itu berat badanku lima puluh kilo. Memang untuk tinggi badan seratus enam puluh empat berat badanku belum ideal. Namun just ok! aku kuat kok ternyata Luna begitu antengnya saat aku angkat dengan kedua tanganku dia tidak terbangun atau dia pura-pura tidur mungkin. Bang Edo kelihatan khawatir dan langsung menyambut tubuh Luna dari ku dan saat itu tangan bang Edo tidak sengaja menjentuh bagian pinggang kiri ku. Waduh, dia pun memandangku dengan senyum yang luar biasa. Getaran indah yang membekas di dada, bantu aku tuhan sembunyikan rasa ini. Benar aku tidak bisa membohongi diri, aku sudah jatuh hati.

Di sepertiga malam, aku memanjatkan do'a agar Allah mengabulkan do'aku untuk menjagaku dari pintah cinta yang menggelincirkan aku pada dosa. Tolong segera kembalikan mama Luna di pelukan Luna aggar syaitan tidak lagi memasang ranjau asmara antara aku dan papanya. Setelah sholat diam-diam ku buka bingkisan dari bang Edo yang ku sembunyikan di bawah ranjang agar Nia tidak tahu. Ternyata bingisannya jilbab dan baju gamis berwarna gray dan jilbab panjang berwarna donker serasi sekali warna kesukaanku. 

"Aku curiga sama kamu Ema, kamu sadar nggak sih" pernyataan Enti membuat aku menghentikan suapan mi goreng ke mulutku. Suasana kantin agak sepi karena kelas sedang berlangsung pelajaran, sedangkan kami masih menunggu dosen yang tidak tahu kejelasan kabarnya bisa masuk atau tidak. Karena perut lapar maka akau ajak Enti ke kantin dan mentraktirnya. " Maksudmu..., curiga apa ni...Nti? kayak detektif aja" tanyaku heran dengan pernyataan Enti tadi." Kamu tidak sadar beberapa waktu ini kamu sering cerita Luna setiap bersamaku" apa benar aku sering begitu, pikirku mengingat-ingat dan mencari kebenaran. " Ya...iyalah Enti, kan dia yang aku asuh dan ku hadapi akhir-akhir ini " bela ku untuk menunjukkan hal yang wajar saja kalau itu yang aku ceritakan. " Beda...lho say...Kamu terlalu menjiwai peranmu sebagai guru tulis baca" Pernyataan Enti gadis kelahiran jambi ini membuat aku tersadar benar kata Enti aku menyangi Luna sudah seperti anakku. Aku tidak pernah menceritakan kisah sisi hatiku yang mulai menyukai suami orang kepada Enti, itu hal yang sangat memalukan. Mendengar pernyataan Enti barusan, membuat aku berpikir harus lebih hati-hati menyembunyikan rasa ini.

Tidak terasa kurang lebih sudah lima bulan Luna belajar membaca dan menulis dengan ku dan kini sudah bisa membaca dan menulis juga membaca Qur'an juga bacaan sholat sudah mulai bisa. " Dek, bisa temankan Luna untuk daftar ke sekolah?" Ku baca sms dari bang Edo. " Baik, Kapan?" ku jawab dengan singkat. Tidak lama langsung HP ku berbunyi dan bang Edo menelpon ku " Benarkan bisa menemani Luna untuk daftar sekolah, besok kita kesekolah ya....saya jemput" suaranya sangat bahagia dan aku hanya menjawab " Iya bisa tetapi jangan jemput, saya akan menunggu di gerbang sekolah saja, saya harap bang Edo paham" dengan suara agak sedikit kecewa karena ku tolak dia untuk menjemputku dirumah, masih pantang bagi ku dilihat tetangga masuk mobil suami orang. Cara ini cukup baik untuk menjaga nama baiknya sebagai seorang direktur perusahaan swasta yang cukup terkenal.

Mungkin ini jalan tuhan untuk menjauhkan aku dari Luna, bulan Juli nanti dia akan bersekolah lagi. Di usianya delapan tahun kembali duduk di bangku kelas satu SD setelah bisa membaca, menulis dan sedikit berhitung dari yang aku ajarkan. Mudah-muhan ini menjadi modal untuk percaya dirinya belajar di SD." Kakak...kita jalan-jalan dulu yuuk!" pinta Luna setelah lulus daftar dan diterima di SD." Ok, kemana kita?" sambil ku tunjukkan senyum bahagia dan " Ayoo...Minta izin dulu sama papa!" Suruhku pada Luna. "Kok minta izin, kita kan pergi bareng papa naik mobil papa saja, kakak kan belum pernah naik mobil papa" aku jadi bingung, biasnya jika Luna ajak jalan kami berdua selalu menggunakan taxi karena aku tidak mau Luna berbaur dengan debu diangkot dan karena papanya juga memberi salary lebih untukku. Aku masih berdiri di depan gerbang dan bang Edo sudah duduk dalam mobil pas dihadapanku " Sudahlah, apa susahnya sih sekali saja memenuhi permintaan Luna" Bang Edo berbicara dari dalam mobil dengan kaca mobil yang sudah terbuka, dia seakan-akan memaksaku. Aku pegang tangan Luna dan membuka pintu mobil bagian tengah dan langsung duduk, perasaan tidak nyaman sangat mengganggu. " Lalu papa jadi sopir pribadi ya kak?" tanya bang Edo pada Luna dan aku paham dia mengisyaratkan kalimat itu agar Luna menyuruhku pindah duduk didepan disampingnya.

"Iya bunda, ayo...duduk disamping papa" ledek Luna dengan manja memintaku pindah, ini membuat aku tambah tidak nyaman. Bang Edo memandangku penuh harap, seakan-akan ini adalah kesempatan pertama dan terakhir kami jalan bersama. Aku pindah duduk disampingnya, Luna kelihatan sangat bahagia. Kebetulan ini memang liburan semesterku dan aku tidak keberatan untuk jalan-jalan menghilangkan letih pikiran untuk meraih angka IPK 3.8 itu tidak mudah. Sesekali bang Edo mencuri pandang kepadaku dan aku tahu, sementara aku berbicara dengan Luna yang sudah tidak sabar untuk bermain di tempat bermain yang ada di Mall.

"Dek, sampai kapan abang harus berpura-pura tidak mencintaimu" Pernyataan ini membuat kakiku yang dari tadi memang sudah terasa capek seakan mau terkulai, sambil berpegangan di pematas lantai enam. Di pemegang batas ini banyak orang-orang berjejer melihat keramaian orang di dalam Mall. Akhirnya ada juga kursi kosonng di depan kami untuk istirahat dan aku bersama bang Edo beralih dari berdiri ke tempat duduk sambil mengawasi Luna yang sedang asyik bermain tidak jauh adi tempat kami duduk. 

Bang Edo menggeser duduknya yang kini hanya berbatas tas Luna disamping kananku. Mungkin dia tidak ingin pembicaraan kami didengar orang lain. Sambil menarik napas dan teras berat aku menjawab" Ya...mungkin sampai mama Luna kembali bersama abang, lagian saya merantau untuk belajar bukan untuk menghancurkan rumah tangga orang bang" Aku menguatkan hati untuk menjelaskan itu dan menyembunyikan gejolak jiwa yang kurasakan saat itu. Di sisi lain ingin ku katakan aku juga merasakan rasa yang sama bang. Namun sudah menjadi tekat dalam diriku saat pertama aku menerima tawaran dari bang Edo sebagai babysitter Luna. Masih belum yakin dengan jawaban aku tadi bang Edo mengatakan " Abang yakin perasaan adek pasti sama seperti perasaan abang kepada adek" Jangan paksa aku untuk jujur bang, sungguh siang dan malam kamu ada dalam ingatanku jika kau bukan suami orang mungkin kan ku katakan aku cinta kamu. " Perasaan....beda lah bang, saya menyayangi Luna bukan berarti mencintai abang" Ku palingkan wajahku yang sudah mulai memerah dan terasa panas. Dari kejauhan nampak Luna yang sedang bermain balap motor. " Dek, tolong dek...Lihat abang, jika adek memang tidak mencintai abang" Bang Edo mendesak ku dengan suara agak memaksa dan agak kesal bang Edo meminta aku memandang wajahnya. Ya Allah...bantu aku untuk kuat dalam kepura-puraan ini. Aku memberanikan diri untuk melihat ke arahnya, namun saat mataku bertatapan langsung dengan matanya yang penuh cinta dan harap. Ternyata aku tidak bisa berbohong, ada gelomabang magnet yang begitu kuat menghantarkan air mata cinta yang ingin ku sampaikan padanya. Mataku tidak kuat untuk menahan rasa sesak didadaku, aku tidak bisa menahan air mata kejujuran rasa itu. Bang Edo memberiku sehelai sapu tangan dan aku paham maksudnya agar aku tidak menangis didepan orang banyak, khawatir dikira suami isteri lagi berantem.


"Terima kasih, atas kejujuran di balik air mata itu" ucap bang Edo sambil memandang Luna dari kejauhan. Aku merasa sangat bodoh, terlarut dalam perasaan dan kejadian ini sepertinya akan membuat bang Edo semakin berharap aku bisa menggantikan mama Luna. Sambil kadang-kadang menyapa orang yang lalu lalang didepan kami dengan senyuman, aku merasa sangat bersalah tidak bisa mempertahankan kepura-puraan ku bahwa aku tidak mencintainya. Bodoh batinku mengejek, ingat kamu anak kuliahan itu suami orang. " Hai...Edo, berdua saja.." sapa sesorang yang kenal dengan bang Edo. Seorang Bapak yang berusia sekitar lima puluh tahunan menghampiri kami, aku merasa kikuk dan malu sambil mengumpulkan kedua telapak tanganku, aku memperkenalkan diri. " Oh, ini ya...yang kamu ceritakan kemarin?" sambil tersenyum seakan mengucapkan sukses teman bang Edo menyalaminya dan berlalu pergi. " Abang cerita apa sama Bapak tadi?" aku bertanya khawatir " Tidak abang hanya cerita tentang guru pivat Luna dan abang jatuh cinta padanya" ku palingkan wajahku karena malu.

Sambil membawa minuman dan makanan ringan bang Edo membagikannya kepadaku, rupanya bang Edo yang izin ke wc dan memintaku mengawasi Luna ternyata datang membawa makanan tahu saja kalau aku butuh makan jika lagi tidak tenang. Luna pun datang menghampiri kami, mungkin dia juga lapar. "Pa, pulang yuuk!" ajak Luna. sepertinya dia suadah kecapean. Di mobil Luna ketiduran di kursi belakang. Bang Edo menyetir mobil ke pinggir jalan, aku berpikir ada apa bukankah untuk sampai kerumah masih setengah jam lagi. Dia mengambil sesuatu dari dalam bungkusan belajaanya, " Terima kasih untuk hari ini, abang tidak salah memilih adek untuk menggatikan mama Luna" ya tuhan jangan biarkan aku dalam dosa ini. Ternyata dia memberikan aku sebuah cincin dan memintaku untuk mengulurkan jariku. " Bang, belum saatnya, abang berpikir sejauh ini. mungkin saja beberapa waktu kedepan mama Luna kembali ke rumah" Aku menolak dengan sopan. Namun bang Edo membalas ucapanku dengan kalimat" Saat itu hatiku sudah milik orang lain" Bang Edo kelihatan kecewa dengan penolakanku.   


Cincin itu dimasukkan dalam tasku sambil berkata " Jika aku pantas untuk mencintaimu, jangan tolak cincin itu" Pernyataan yang tidak pernah aku dengar bang Edo menggunakan kata "Aku" jika dia berbicara pada ku hingga aku takut untuk menolaknya. " Jika sudi pakailah, mudah-mudahan berkenan tentang cinta ini, ku bermohon kepada Allah dekatkan jodohku padamu saat kuliahmu selesai" terharu dan perih sekali ungkapan tulus itu terdengar di telingaku. "Mungkin beberapa bulan kedepan, situasi kita akan berbeda karena Luna sudah mulai masuk sekolah" kata bang Edo, aku merasa agak tenang dengan kalimat itu mudah-mudahan kami menjadi jarang bertemu dan komunikasi, karena setiap hubungan itu komunikasi yang paling penting. Namun belum sempat aku sepenuhnya tenang bang Edo selalu punya cara untuk tetap bisa berkomunikasi denganku "Tetapi walaupun Luna tidak privat membaca dan menulis lagi, bolehkan Luna belajar baca qur'an dan sholat?" Aku  tahu inilah cara bang Edo agar selalu bisa bertemu dan tidak dicurigai tetangga, sungguh hubungan yang gila. " Abang akan menuntut pisah dengan mama Luna saat kamu siap ujian sekripsi, semangat belajar ya!" Bang edo mengkahiri pembicaraan dan memakirkan mobil tepat didepan rumahku.

Beberapa hari berlalu begitu cepat, aku menceritakan apa yang aku alami kepada Nia." Ya....ampun kakak, ini namanya main api". Nia memegang tanganku dan meminta untuk meninggalkan kisah cinta ini. "Lalu kakak harus bagaimana? rasa itu datang begitu saja" jelas ku membela diri kepada Nia. "Kita pindah saja yuuk....!" ajak Nia dan aku pikir itu ide gila. Kemudian aku menjelaskan kepada Nia aku bisa mengatasi hal ini karena aku dan bang Edo hanya komunikasi via HP dan sangat jarang bertemu.

Hari itu Luna menerima raport semester pertama dan sorenya dia kerumah untuk belajar mengaji. Seperti biasa dia bercererita banyak hal tentang teman-teman sekolahnya dan juga peringkatnya yang masuk lima besar. Aku sangat bersyukur atas perestasinya benar kata psikolog kemarin, bahwa perhatian lebih kepadanya akan sangat membantunya dalam kemajuan proses belajarnya. 

Setelah selesai jam kuliah aku langsung menemui Nia dan kami buru-buru untuk menemui seseorang. Beberapa saat kami menunggu orang itu di meja sudut tempat makan di Mall ini, "Sudah lama ya dek? kami menoleh kearah suara dan aku kenal orang itu meski baru pertama bertemu hari ini. Kecantikan  di balik pigura di rumah bang Edo masih nampak jelas. " Silakan duduk mbak, sapa ku.." sambil menarik kursi disampung kananku. Dia duduk sambil membuka kaca mata hitam yang menyembunyikan kecantikannya yang luar biasa. " Kamu ya, yang nama Ema?" dia memandang kearahku, belum sempat aku menjawab "Iya" kalimat berikutnya pun langsung terdengar " Kamu cantik juga, tidak layak kecantikanmu dan kecerdasanmu kamu gunakan untuk menggoda suami orang" Ya tuhan mbak Icha mengeluarkan kalimat pedas untuk memojokan ku.

"Mbak Icha jangan salah paham dulu, Mbak" pinta ku untuk memberikan penjelasan. " Salah paham bagaimana? Sudah seminggu aku pulang ke rumah namun Luna tidak menyapaku dan Bang Edo bersikap dingin" jelas mbak Icha seakan-akan menuduh aku lah penyebabnya. " Lalu apa hubungannya dengan saya mbak?" aduh mengapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku " jangan pura-pura begok kamu" setelah kau cuci otak anakku dan seakan kau perempuan baik yang bisa menggantikan aku, sekarang kau pura-pura bertanya" Aku menunduk dan menginjak kaki Nia yang kebetulan duduk disamping kiriku. Ku lihat Nia sepertinya dia mau membalas dan mau memarahi mbak Icha. " Sudahlah, saya mohon tinggalkan anak dan suami saya" sambil mengeluarkan amplop berwarna coklat entah berapa isi uang didalamnya aku tidak tahu. Yang aku tahu menurut keterangan bang Edo mbak Icha memeng berasal dari keluarga kaya yang dulu sering membantu keluarga bang Edo saat bang Edo masih kuliah.

" Terima kasih, mbak Icha. Perlu mbak Icha tahu, Luna dan Pak Edo sangat memerlukan seorang ibu dan Isteri yang memperhatikan mereka, yang rela mengorbankan waktu dan kesenangannya untuk mendengar cerita mereka" Belum sempat dia membalas perkataanku "Tunggu mbak jangan potong kalimat ku!" cara aku mengajarnya sopan santun. " Meskipun saya bukan orang kaya, namun kekayaan tidak membuat saya harus menjual harga diri di hadapan Pak Edo apalagi Mbak Icha, do'a saya terkabulkan meminta Allah mengembalikan mbak kepelukan keluarga Mbak" ku lanjutkan penjelasanku " Sudah lama Pak Edo meminta aku mejadi isterinya, namun tenang saja mbak. Tujuan aku merantau jauh ke kota ini untuk menggapai cita-citaku menjadi seorang guru" Tidak sabar Mbak Icha membalas kalimatku " Kalau begitu aku akan lihat apakah kamu akan terus tinggal disekitar rumahku, saya harap kamu paham" Kalimat tegas dan ketus itu adalah isyarat mengusirku dari indekostku yang kebetulan tidak jauh dari rumahnya. Kemudian dia akan pergi meninggalkan aku dan Nia. Dia ingin meninggalkan amplop coklat itu di meja tempat kami duduk. Namun segera ku pegang tangan kanannya dan kuserahkan amplop itu kepadanya sambil berkata"Mbak bisa membeli apa saja dengan uang, namun tidak dengan harga diriku dan cintaku pada bang Edo" sengaja kalimat ini aku ucapkan agar dia tidak memandang remeh padaku. Mbak Icha langsung meninggalkan aku dan Nia. Tidak kuasa aku menahan tanangis dan ku ambil sapu tangan dari bang Edo yang pernah diberikan bebera waktu yang lalu. Nia memelukku dan mengajakku pulang. 

Sambil memegang cincin di jari manisku, dan HP ku terus berdering namun tidak aku angkat karena itu panggilan dari bang Edo. Apakah dia tahu kejadian tadi sore? Mukena masih kupakai dalam kesedihan dan luka hati masih kusempatkan membaca Al-qur'an. Nia dari tadi bolak balik dihadapan ku dia nampak sangat mengkhawtirkan perasaanku. Dari menangis dalam kamar sekarang aku berpindah keruang tamu dengan posisi duduk kedua kaki kutekuk diatas kursi dan kupeluk ini adalah posisi paling nyaman saat ini. " Assalamu'alaikum, Dek..." suara dari depan pintu membuat aku semakin ingin menangis. Tanpa aku persilakan masuk, bang Edo sudah duduk diruang tamu selama aku mengenalnya ini kali pertama  dia berani masuk rumahku. Semoga tetangga tidak memperhatikan ini karena dia hanya menggunakan motor bebeknya kerumahku. Ingin sekali aku menangis di pundaknya, " Tenang, dek...kita akan melewati ini bersama" bang Edo menangkan aku dan aku sendiri bingung apa yang aku alami saat ini. Kalimat yang aku ucapakan kepada mbak Icha masih terngiang ditelingaku, namun rasa sayangku kepada Luna dan bang Edo sekarang semakin kuat.

"Bang...maafkan Ema, Ema tidak bisa melanjutkan hubungan ini" aku menangis sejadi-jadinya." Aku merasa terlempar ke kedalaman terendah dan kehilangan yang sangat berharga. Kenapa dek, aku dan Luna juga tidak bisa melupakan kamu, kehadiran Icha dirumah tidak membawa kebahagian kami kembali seperti dulu." Sambil memegang ujung mukenaku, bang Edo duduk dilantai memohon dan meneteskan air mata. " Saya mohon bang, tolong tinggalkan saya sendiri untuk memikirkan ini dan jaga nama baik keluarga abang" Dia melepaskan ujung mukenaku" Aku tidak pernah berusaha untuk mencintaimu, namun Luna lah yang menyadarkan hatiku bahawa aku baru merasakan jatuh cinta yang sebenarnya." Dulu bersama Icha aku menikah karena dijodohkan oleh keluarga. " segera ku hentikan ratapan ranjau syaitan. "Sudahlah bang, jangan menyalahkan takdir. Mbak Icha adalah perempuan biasa yang bisa melakukan kesalahan. Terimalah dia kembali dengan berjalannya waktu kebahagian itu akan kembali bersama kebersamaan kalian" Kalimatku begitu dewasa sementara hatiku sangat pedih dan terluka. " Silakan abang pulang, sebelum mbak Icha datang kerumahku dan mengundang cibiran tetangga terhadapku sebagai perusak rumah tangga orang". Permintaanku dikabulkan dengan membelai lembut kepalaku yang masih menggunakan mukena. Ingin rasanya aku memeluk bang Edo, Belaian itu begitu terasa indah dan menenangkan. 

Nia memberiku secangkir besar air putih, setelah sholat isya aku berbincang dengan Nia. Dia langsung menelpon calon suaminya Mas Rino. Dua jam berlalu, "ayoo...kita berkemas kata Nia" sekali-kali dia memelukku untuk menguatkan aku. Setelah sholat Isya tadi aku dan Nia mengabarkan kepada Bu Ida bahwa kami tidak melanjutkan sewa kostnya. Alasanku, kami harus pindah rumah karena ada saudara dari kampung yang akan ikut tinggal bersama jadi harus cari rumah yang lebih besar.



Pagi-pagi sekali pas hari Minggu aku dan Nia berpamitan dan minta maaf dengan tetangga kiri, kanan dan depan rumah kost kami karena mau pindah rumah. Cuaca pagi masih berkabut aku dan Nia masuk mobil Mas Rino dan enatah kemana mereka akan mengajak aku meninggalkan kisah cintaku ini. kemudian mobil mas Rino melewati pintu pagar rumah bang Edo hatiku merasa sangat sedih dan air mataku mengalir deras. Ingin rasanya aku berteriak selamat tinggal bang Edo, selamat tinggal Luna. Ku buka tutup belakang HPku dan ku tarik kartu SIMnya. " Jangan lakukan itu kakak" Nia melarang aku melakukan itu " Tidak ada cara lain dek" sungguh sakit dadaku menahan kerinduan dan cinta ini. Sapu tangan dan cincin ini terus ku genggam dan ku usap sebagai pengganti kehadiran bang Edo. Kabut pagi ini bagaikan cintaku yang terselubung tebalnya dinding cinta seorang isteri. 




Oktober, 2014
     





Membuat Cover Buku yang Menarik

 PELATIHAN BELAJAR MENULIS PGRI Resum e   Pertemuan       :  27 Kelas               : Gel. 23 Materi              : Membuat Cover ...